Gambar: Suasana Acara Workshop |
Oleh: Sawali
“Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.”(Pramoedya Ananta Toer)
Guru
merupakan profesi yang dinamis. Ia terus berkembang seiring dengan peradaban
yang memolanya. Ranah tugas seorang guru idealnya tidak lagi dibatasi
tembok-tembok ruang kelas, tetapi harus sudah mampu merambah ke “dunia lain”;
dunia yang akan terus melecutnya menjadi sosok inspiratif; sosok yang mampu
mengilhami peserta didik menjadi generasi masa depan yang cerdas, baik secara
intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial.
Di tengah rumit dan kompleksnya situasi peradaban yang kian
mengarah pada atmosfer global, peran guru jelas makin sarat tantangan. Ia tidak
hanya dituntut untuk mentransfer setumpuk ilmu dan teori kepada siswa didik,
tetapi diharapkan juga mampu menorehkan tinta sejarah dalam ornamen peradaban.
Ia tidak harus terjebak menjadi guru kurikulum yang hanya menjadikan murid
sebagai “tong sampah” ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu menjalankan peran
kemanusiaannya sebagai guru inspiratif dalam kurikulum kehidupan yang
sesungguhnya. Peran kemanusiaan itu mewujud dalam sebuah aksi pemikiran
kreatif, kritis, cerdas, dan mencerahkan melalui tulisan sebagai media
beraktualisasi dan katarsis diri di tengah meruyaknya berbagai fenomena hidup
dan kehidupan yang kian anomalis, bar-bar, dan korup.
Bertahun-tahun
lamanya, guru dininabobokan oleh adagium “pahlawan tanpa tanda jasa” yang
–disadari atau tidak—telah melumpuhkan daya kreativitas guru sebagai pionir
perubahan. Guru menjadi profesi yang monoton dan miskin dinamika. Ia terjebak
menjadi “tukang ajar” untuk melahirkan generasi “anak mami” sesuai pesanan
penguasa. Alih-alih menulis, diskusi dan orasi pun tak lebih hanya sekadar
menyuarakan kebijakan penguasa sebagai manifestasi sikap pengabdian dan
monoloyalitas terhadap atasan. Tidak berlebihan apabila aktivitas menulis makin
jauh dari sentuhan perhatian seorang guru. Imbasnya, dunia pendidikan kita
makin stagnan; terjebak dalam ruang hampa dan kamuflase akademik, sehingga
gagal mengilhami peserta didik menjadi generasi masa depan yang cerdas dan
luhur budi. Tugas keseharian guru tak lebih sekadar menyiapkan silabus, rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), implementasi pembelajaran yang miskin inovasi,
atau penilaian yang sarat rekayasa.
Guru
–meminjam bahasa Pramoedya Ananta Toer– boleh pandai setinggi langit, tetapi
selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Ini artinya, sehebat apa pun guru terampil mengajar, peran kemanusiaannya tidak
bisa ditunaikan dengan baik sepanjang mereka tidak mengakrabi dunia
kepenulisan. Mereka hanya dikenal sebagai tukang ajar yang menerapkan kurikulum
sekolah secara sempit dan belum sanggup berkiprah sebagai guru inspiratif yang
menerapkan kurikulum kehidupan yang sesungguhnya. Dalam konteks demikian,
menulis sejatinya merupakan “fitrah kemanusiaan” seorang guru sebagai agen
pembelajaran yang harus terus-menerus memberikan pencerahan di tengah dinamika
zaman.
Meskipun
demikian, menulis saja tidak cukup. Perlu ada upaya serius untuk
memublikasikannya melalui media cetak. Naskah tulisan yang hanya tersimpan di
laci tak akan banyak maknanya bagi guru untuk beraktualisasi dan menemukan
katarsis diri.
Guru
Menulis, Apa Untungnya?
Setidaknya
ada enam keuntungan yang bisa didapatkan oleh seorang guru yang aktif menulis
dan berhasil menembus media cetak. Pertama, popularitas. Melalui
tulisan, seorang guru mampu menyuguhkan pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif
kepada publik dengan jangkauan yang (nyaris) tak terbatas. Semakin banyak
tulisan yang sukses menembus media cetak, nama sang penulis juga akan makin
pupuler dan mendapatkan tempat tersendiri di mata pembaca. Dengan demikian,
guru yang membudayakan aktivitas menulis akan mampu membangun opini publik
terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang hingga saat ini masih sarat dengan
beban masalah.
Kedua,
profesionalisme. Secara langsung, sebuah tulisan memang tidak bisa memberikan
manfaat praktis terhadap peningkatan mutu proses pembelajaran dan bisa menyihir
generasi masa depan negeri ini menjadi sosok yang cerdas dan berkarakter.
Namun, secara tidak langsung, tulisan bisa dijadikan sebagai media untuk
memberikan asupan dan nutrisi batin bagi guru yang bersangkutan dalam
meningkatkan kompetensi dirinya. Jika dikaitkan dengan peran guru sebagai agen
pembelajaran, aktivitas menulis telah menyentuh naluri seorang guru untuk
membebaskan mitos peserta didik sebagai robot yang hanya bisa menjalankan
perintah dan taat pada komando. Peserta didik adalah potret generasi masa depan
yang harus bisa menentukan jalan hidupnya secara cerdas dan kreatif, hingga
kelak mereka bukan menjadi beban bangsa, melainkan justru menjadi “katalisator”
yang mampu memadukan kekuatan, baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya,
hingga sanggup melahirkan potensi dahsyat untuk melakukan sebuah perubahan.
Ketiga,
aktualisasi diri. Secara internal, tulisan bisa dijadikan sebagai media untuk
beraktualisasi diri. Melalui opini yang disajikan dalam sebuah tulisan,
gagasan-gagasan kreatif seorang guru makin memperkokoh posisi dan legitimasi
sosialnya di mata publik sehingga sosok guru makin terhormat dan bermartabat.
Sebagai praktisi yang merasakan denyut kehidupan dunia pendidikan secara
langsung, gagasan-gagasan kreatif dan orisinil dari seorang guru sangat
dibutuhkan untuk membangun desain pendidikan yang lebih mencerdaskan dan
mencerahkan. Opini guru yang terkemas dalam sebuah tulisan di media cetak makin
melengkapi berbagai diskursus pendidikan yang mencuat di berbagai media.
Keempat,
katarsis diri. Sebagai sosok yang berdiri di garda depan dalam dunia
pendidikan, guru jelas sangat memahami silang-sengkarutnya dunia pendidikan
yang hingga kini belum sanggup melahirkan generasi yang cerdas dan berkarakter.
Ironisnya, guru tak jarang dituding sebagai biang penyebab rendahnya mutu
pendidikan. Dalam situasi demikian, tulisan bisa dijadikan sebagai media
katarsis diri untuk menyuarakan beban kegelisahan yang mengerak dalam ruang
batin sang guru. Menumpuknya problem pendidikan, mulai dari Ujian Nasional,
sertifikasi guru, kurikulum, limbah politik lokal pasca-otonomi daerah, hingga
implementasi pembelajaran yang dinilai miskin inovasi, sesungguhnya bisa
menjadi bahan tulisan yang menarik bagi seorang guru.
Kelima,
mengasah kepekaan. Guru abad ke-21 tidak cukup hanya menjadi guru kurikulum
yang menafsirkan kurikulum semacam “kitab suci” yang monotafsir. Ia perlu
menjadi guru inspiratif yang mampu menerjemahkan kurikulum secara
multidimensional. Guru perlu menjadi elemen bangsa yang memiliki kepedulian
untuk ikut memperbaiki nasib bangsanya dengan memosisikan diri sebagai sumber
inspirasi bagi banyak kalangan melalui sebuah tulisan. Melalui tulisan, guru
akan terus terasah kepekaannya dalam menyuarakan berbagai problem pendidikan
sehingga mampu berkiprah dalam menggerakkan dinamika pendidikan sesuai dengan
tuntutan peradaban dan kebutuhan masa depan.
Keenam,
finansial. Ini merupakan keuntungan lain yang bisa didapatkan seorang guru
di balik jerih-payahnya menekuni dunia kepenulisan. Saat ini media cetak sangat
menghargai tulisan karya guru yang dinilai kreatif, inovatif, dan orisinil.
Rubrik media cetak pun terbuka luas bagi seorang guru untuk berkarya. Honor
tulisan yang didapatkan lebih dari cukup untuk terus memacu adrenalin
kepenulisan, termasuk membeli buku-buku yang dibutuhkan. Selain itu, guru yang
aktif menulis akan mampu memuluskan langkahnya dalam menapaki jenjang karier,
terutama kewajiban untuk memenuhi angka kredit pengembangan keprofesian
berkelanjutan, yang dinilai menjadi momok dan beban guru.
Kiat
Menembus Media: Sebuah Testimoni
Menulis
merupakan sebuah proses. Ia tidak hadir di ruang hampa, tanpa upaya untuk meraihnya.
Seorang guru sesungguhnya sudah memiliki modal yang lebih dari cukup untuk
menulis. Dalam keseharian, mereka sudah biasa melakukannya, entah menyusun
silabus, RPP, proposal kegiatan sekolah, atau laporan kegiatan sekolah. Yang
belum biasa dilakukan oleh sebagian besar rekan sejawat adalah keberanian
menguji nyali untuk mendedahkan gagasan-gagasan kreatif dan kritis kepada
publik melalui tulisan di media cetak. Selain itu, sebagian rekan sejawat juga
gampang runtuh nyalinya ketika tulisan yang dikirimkan selalu ditolak redaksi.
Tulisan
apa pun, termasuk tulisan di media cetak, sangat ditentukan kualitasnya oleh
dua unsur utama, yakni isi dan bahasa. Dua unsur utama ini saling berkelindan
dalam membangun struktur sebuah tulisan di media cetak (baca: koran). Sebagus
apa pun isi tulisan jika tidak dikemas dengan bahasa yang menarik dan
komunikatif, nasibnya akan berujung ke keranjang sampah. Demikian juga
sebaliknya, sehebat apa pun bahasa yang digunakan dalam sebuah tulisan, tetapi
miskin isi, nasibnya juga setali tiga uang. Struktur tulisan di media cetak
memang sangat berbeda dengan tulisan pada umumnya. Selain isinya memiliki
“nilai jual”, tulisan di media cetak mesti dikemas dengan bahasa yang memiliki
tingkat keterbacaan tinggi. Hal ini bisa dipahami sebab segmen pembaca media
cetak pada umumnya lintas-usia, lintas-pendidikan, dan lintas-budaya.
Setidaknya
ada beberapa kiat yang bisa ditempuh agar tulisan seorang guru sukses menembus
media cetak. Pertama, mengenal karakter media. Setiap media cetak pada
umumnya menerapkan kebijakan dan standar penulisan yang berbeda-beda.
Seringkali isi dan bahasa sebuah tulisan yang cukup terjaga kualitasnya gagal
menembus media cetak karena dinilai tidak sejalan dengan kebijakan redaksi.
Seorang guru yang tergerak hatinya untuk menulis di media cetak perlu
memperkuat daya jelajahnya dalam membaca, menyelami karakter media cetak, dan
melakukan komparasi gaya tulisan lintas-media, sehingga memiliki banyak
kemungkinan untuk menghasilkan tulisan khas yang sesuai dengan “selera” media
yang bersangkutan. Hal ini penting dilakukan, sebab setiap media memiliki
kebijakan dan standar penulisan yang berbeda-beda.
Kedua,
membuat kliping artikel media. Aktivitas ini sering diabaikan oleh
rekan-rekan sejawat yang terburu-buru ingin meraih popularitas. Selain untuk
mengenal karakter dan gaya tulisan media cetak, kliping artikel bisa dijadikan
sebagai rujukan dan sekaligus menjaga atmosfer kepenulisan. Dengan banyak
membaca artikel yang ter-kliping rapi, kita bisa mengadaptasi gaya para penulis
media cetak yang sudah punya nama. Tentu saja, jangan sampai terjebak menjadi
seorang plagiator yang latah meniru gaya tulisan seorang penulis besar, apalagi
melakukan kopi-paste tulisan karya orang. Sesekali, buatlah perbandingan antara
gaya tulisan kita dengan tulisan penulis lain yang dijadikan sebagai “kiblat”
kepenulisan. Mungkin di sana kita menemukan sebuah pencerahan bagaimana
seharusnya seorang penulis mengemas data, menyajikan argumen, menyusun
deskripsi, atau membangun persuasi.
Ketiga,
mencermati trend isu yang dikembangkan media tertentu. Isu yang
tengah menjadi sorotan media bisa dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk
mengemas tulisan yang sesuai dengan karakter media yang bersangkutan. Selain
untuk menjaga agar tulisan tidak basi, mengangkat trend isu dalam
sebuah tulisan juga untuk memberikan kesan kepada redaksi bahwa kita
benar-benar memosisikan diri sebagai pembaca yang cermat dan kritis.
Keempat,
memperkaya referensi. Meskipun dikemas dengan bahasa bergaya populer dan
komunikatif, tulisan di media cetak juga diupayakan agar tidak kering
referensi. Gunakan rujukan dari berbagai sumber terpercaya untuk memperkaya dan
mendukung opini yang kita kembangkan, sehingga tidak gampang dikategorikan
sebagai penulis bombastis.
Kelima,
menyunting naskah. Sebelum naskah tulisan dikirimkan ke redaksi media
cetak sebaiknya disunting terlebih dahulu agar terhindar dari berbagai
kesalahan yang fatal. Penggunaan ejaan dan tanda baca sebisa mungkin diusahakan
mengacu pada kaidah yang berlaku. Konsistensi penulis dalam menggunakan ejaan
dan tanda baca seringkali dijadikan sebagai pertimbangan redaksi untuk
memutuskan layak muat dan tidaknya sebuah tulisan. Sesekali posisikanlah
sebagai pembaca awam untuk menilai sendiri naskah tulisan yang hendak kita
kirimkan ke redaksi. Jika masih ada beberapa pernyataan yang salah, perbaikilah
segera!
Keenam,
membangun kejujuran dan etika. Hal penting yang tidak boleh diabaikan
seorang penulis adalah membangun kejujuran dan etika. Jangan pernah sekali pun
terjebak menjadi seorang plagiator. Hal ini akan menurunkan kredibilitas kita
sebagai penulis. Selain itu, usahakan untuk tidak mengirim tulisan yang sama ke
beberapa redaksi media cetak. Jika kebetulan tulisan kita sama-sama dimuat di
media yang berbeda, kita bisa langsung kena “daftar hitam” sebagai penulis
“sampah” yang hanya sekadar memburu popularitas dan sensasi. Jika ingin
mengirimkan tulisan ke redaksi lain, lakukan konfirmasi dulu kepada pihak
redaksi apabila diyakini bahwa tulisan yang telah kita kirimkan dinilai tidak
layak muat. Upaya membangun kejujuran dan etika juga dimaksudkan untuk menjaga
hubungan baik dengan redaksi.
Ketujuh,
pantang menyerah. Seorang penulis pada dasarnya juga seorang “petarung”. Ia
harus siap tempur untuk bersaing dengan puluhan, bahkan ratusan penulis lain.
Oleh karena itu, usahakan untuk tidak gampang menyerah ketika tulisan yang kita
kirimkan ditolak redaksi. Seseorang yang bertalenta besar untuk menjadi penulis
seringkali gagal mewujudkan impiannya lantaran gampang patah arang dan kapok
menulis. Yang menyedihkan, kita dengan gampang menuduh redaksi “berselingkuh”
dengan penulis tertentu dan dinilai tidak bisa membedakan mana tulisan yang
bermutu dan mana tulisan “sampah”.
Hal-hal
lain yang bersifat teknis juga jangan diabaikan. Pencantuman biodata, misalnya,
menjadi hal penting untuk diikutsertakan dalam tulisan yang kita kirimkan ke
redaksi. Keterlibatan penulis dalam sebuah organisasi atau komunitas dan
berbagai aktivitas yang lain seringkali menjadi pertimbangan tersendiri dari
pihak redaksi untuk memutuskan dimuat atau tidaknya sebuah tulisan sesuai
dengan topik yang dibahas.
Kiat-kiat
tersebut bukanlah “harga mati”. Yang lebih menentukan keberhasilan seorang guru
menjadi penulis adalah minat, kesungguhan, keuletan, kerja keras, dan doa. Kita
perlu menjadi seorang pembelajar yang tak pernah berhenti menimba ilmu dari
pengalaman dan refleksi diri. Menulis, menulis, dan menulis jauh lebih bermakna
ketimbang terus berkeluh kesah karena menganggap diri sendiri tak berbakat
menjadi penulis.
Catatan
Penutup
Menulis
merupakan aktivitas dinamis yang selalu bersentuhan dengan kepekaan kita dalam
merespons berbagai persoalan yang terjadi. Dalam konteks demikian, kita perlu
menjaga atmosfer kepenulisan agar “adrenalin” kita untuk melahirkan
tulisan-tulisan yang mencerahkan bisa terus eksis dan terjaga.
Sudah
saatnya menulis menjadi kultur baru bagi para guru yang diposisikan sebagai
agen pembelajaran yang harus memiliki kompetensi pedagogik, profesional,
sosial, dan kepribadian. Peran kemanusiaan sebagai guru kreatif dan inspiratif
akan cepat menguap di tengah belantara informasi apabila guru “lumpuh” menulis.
Kini, pilihan terbentang di depan mata. Mau menjadi guru inspiratif yang
sanggup mengilhami peserta didik menjadi sosok yang cerdas dan berkarakter
melalui tulisan atau menjadi guru kurikulum yang memosisikan siswa sebagai
“robot” peradaban akibat kealpaan kita dalam mengabadikan pemikiran-pemikiran
kritis dan kreatif. ***
*)
Disajikan pada Workshop “Guru Kreatif, Guru Menulis” dalam rangka
memperingati Hari Guru Nasional yang diselenggarakan oleh Harian Warta
Jateng bekerja sama dengan IKIP PGRI Semarang, Kamis, 17 November 2011.
0 komentar:
Posting Komentar