Oleh: Erna Erviana Purnama Sari
"Pemberlakuan program inklusi di sekolah masih belum mampu meretas perbedaan antara orang-orang normal dengan para kaum difabel. Hal ini dapat dilihat dari sikap siswa dan orang tua siswa untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang menerapkan program inklusi"
Gambar: Ilustrasi Sekolah Inklusi |
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sudah menjadi kebutuhan manusia dalam menjamin keberlangsungan hidupnya. Dengan demikian, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu bagi setiap warganya tanpa terkecuali, termasuk yang memiliki keterbatasan ataupun perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat. Sehingga pemerintah membuat suatu program pendidikan yang khusus diperuntukkan bagi para kaum difabel.
Pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003) pasal 32 menyebutkan bahwa "Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa."
Adanya Sekolah Luar Biasa (SLB) yang dicanangkan oleh pemerintah bagi anak berkebutuhan khusus (ABK ternyata juga masih menimbulkan banyak kesulitan bagi mereka yang berkebutuhan khusus, mengingat jumlah SLB yang terbatas dan biaya pendidikan yang cukup tinggi.
Selanjutnya untuk membantu mengurangi kesulitan bagi anak berkebutuhan khsus (ABK, pemerintah mencanangkan sekolah inklusi. Dimana pada prosesnya, sekolah inklusi ini merupakan sekolah untuk anak-anak normal yang kemudian didalamnya juga menerima anak berkebutuhan khusus. Meski pendidikan inklusi telah lama dibicarakan bahkan sudah banyak sekolah yang telah mengimplementasikannya, namun belum semua orang mau menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah umum. Padahal sesuai aturan, sekolah umum harus menerima siswa tanpa terkecuali termasuk ABK.
Guru SLB N 2 Semarang, tanggal 18 November 2012 mengungkapkan bahwa untuk saat ini para siswa yang disekolahkan di tempatnya mengajar merupakan siswa-siswi yang ditolak dari sekolah normal. Walaupun tingkat kekurangan yang diderita oleh siswa-siswi tersebut tidak begitu memprihatinkan, akan tetapi menurut mereka hal tersebut cukup menganggu pembelajaran di kelas jika disatukan dengan para siswa normal. Selain itu para orang tua siswanormal juga tidak berkenan untuk menyekolahkan anak mereka bersama dengan anak berkebutuhan khusus karena menurutnya takut tertular.
Dalam hal ini, guru hendaknya juga dapat menempatkan dirinya dalam mengatasi perbedaan yang ada di sekolah. Untuk menjadi guru yang ideal, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu menawarkan cinta, kemauan untuk memahami, dan komunikasi untuk mempermudah penyampaian ilmu. Apabila tidak ada cinta dalam melakukan pengajaran, maka untuk menerima siswanya saja guru masih kurang nyaman. Yang nantinya hal tersebut akan menganggu dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, perlu adanya sosialisasi pada para pelaku pendidikan, sehingga nasib para kaum difabel tidak terpinggirkan.
0 komentar:
Posting Komentar