Unordered List

Kamis, 10 Januari 2013

Pendidikan Inklusi

Oleh: Anwari WMK

Mengacu pada prinsip pemerataan pendidikan, sudah selayaknya jika siswa berkebutuhan khusus ditampung di lembaga-lembaga pendidikan non-SLB. Untuk itu, dibutuhkan rancang bangun pendidikan inklusi.
 
DINAMIKA pendidikan di Indonesia ditandai oleh lahirnya nomenklatur atau istilah yang mengandung pengertian spesfik. “Pendidikan inklusi”, misalnya, merupakan nomenklatur dengan pengertian spesifik. Anak-anak cacat atau anak-anak berkebutuhan khusus tak harus diarahkan agar hanya mengenyam pendidikan dalam  lingkup terbatas Sekolah Luar Biasa (SLB). Justru, mereka diberi hak mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah-sekolah umum. Syaratnya, sekolah-sekolah umum terlebih dahulu ditingkatkan kapasitasnya melalui ketersediaan infrastruktur dan tenaga kependidikan yang relevan dengan keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah semacam inilah yang masuk ke dalam cakupan “pendidikan inklusi”.
            Sebagaimana dapat dicatat, SLB berdiri di wilayah-wilayah urban, yaitu di ibukota kabupaten. Sementara anak-anak berkebutuhan khusus, tersebar menyerupai diaspora di berbagai penjuru Nusantara. Mereka bisa ditemukan di wilayah-wilayah urban, dan juga dapat dijumpai di wilayah-wilayah pedesaan. Anak-anak berkebutuhan khusus di pedesaan inilah yang kecil peluangnya dapat mengenyam pendidikan SLB. Itulah mengapa, bijaksana manakala sekolah-sekolah yang tersebar di wilayah pedesaan bersedia menerima kehadiran siswa berkebutuhan khusus. Lebih bijaksana lagi manakala sekolah-sekolah non-SLB di perkotaan juga berlapang dada menerima anak-anak berkebutuhan khusus.
            Sebagaimana diketahui, berbagai catatan berkenaan dengan siswa berkebutuhan khusus justru memperlihatkan profil memprihatinkan anak-anak bangsa. Dari periode ke periode mereka mengalami peningkatan jumlah populasi. Sebagian terbesarnya, lahir dalam keluarga kelas menengah-bawah, serta tinggal di kawasan pedesaan atau di pinggiran wilayah-wilayah urban. Keterbatasan mereka mendapatkan pendidikan bertali temali dengam banyak aspek. Bukan saja tak memiliki ketercukupan biaya demi mengenyam pendidikan secara memadai. Tak kalah tragisnya, mereka terbentur kesulitan transportasi untuk bisa mencapai ibukota kabupaten. Logis jika kemudian sekolah-sekolah umum turut serta memikul tanggung jawab: menerima kehadiran siswa berkebutuhan khusus dalam totalitas proses pendidikan.
            Sesungguhnya, bukanlah hal aneh manakala siswa berkebutuhan khusus terintegrasi ke dalam institusi pendidikan umum. Sebab dengan demikian terbentuk perspektif baru hubungan antarmanusia berlandaskan solidaritas sosial. Anak-anak normal justru memiliki kesempatan untuk belajar membangun empati terhadap siswa berkebutuhan khusus. Bahkan, sekolah berkembang sedemikian rupa menjadi epsisentrum terciptanya caring society. Itulah suatu model masyarakat yang setiap anggotanya saling peduli satu sama lain. Sekolah betul-betul menjadi kawah candradimuka lahirnya humanisme baru.
 
Berbagai catatan berkenaan dengan siswa berkebutuhan khusus justru memperlihatkan profil memprihatinkan anak-anak bangsa.

Sisi lain dari pendidikan inklusi ialah mengubah makna keberadaan pendidikan umum. Dalam perspektif para penyandang cacat, sekolah-sekolah umum telah sejak lama dirasakan sebagai seonggok kejumawaan, lantara hanya memberi tempat bagi siswa normal. Dengan demikian berarti, sekolah-sekolah umum berubah menjadi eksklusif manakala disimak berlandaskan perspektif penyandang cacat. Mungkin karena alasan ini para pejabat tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional lalu tampil dengan nada positif saat berbicara tentang pendidikan inklusi. Mereka bahkan memaknai kehadiran pendidikan inklusi itu sejalan dengan tujuan sistem pendidikan nasional.
Apa yang kemudian penting digaris-bawahi dengan demikian ialah kian terkikisnya pandangan negatif terhadap integrasi siswa berkebutuhan khusus ke dalam sistem pendidikan umum. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan rancangan pendidikan inklusi. Pada satu sisi, kesiapan infrastruktur dan ketersediaan guru mutlak mempertimbangkan keberadaan siswa berkebutuhan khusus. Pada lain sisi, sudah saatnya proses pendidikan mempertimbangan inner scientific. Sehingga, totalitas sistem pendidikan yang berjalan fokus pada potensi individual siswa. Inilah pendidikan inklusi dalam maknanya yang hakiki.

0 komentar:

Posting Komentar